Hakekat Pewarisan terhadap Laki-Laki yang Berstatus Mulih Teruna di Bali

Abstract

The purpose of this research is to analyze the nature of inheritance to men who have the status of mulih teruna in Bali. The research method used is normative research method. The results showed that the nature of male inheritance in nyeburin marriage after divorce that in the context of inheritance is not only based on blood ties, but also on the fulfillment of customary and religious obligations (swadharma), in accordance with the principle of balance. After divorce in a nyeburin marriage, men who return to the family of origin (mulih truna status) are entitled to part of their parents' inheritance. However, with the regulation of inheritance rights in MDA Decree 04/2023, this provision raises the potential for conflict and legal uncertainty, especially if there are other heirs who continue to carry out full customary obligations. Furthermore, based on this, the principles of legal certainty and balance must be the main basis in the preparation and implementation of customary inheritance rules in order to be fair and avoid conflict, then the concept of separating the meaning between collective rights as moral rights and individual rights to property that is material in nature so that it can be formulated that they are not entitled to inheritance rights to inherited property, but are still open to the acquisition of rights by paying attention to the principle of parimirma, namely the principle of compassion, the process of transferring inheritance can be carried out by consensus based on deliberations with the family of origin.

Tujuan penelitian ini dilakukan untuk menganalisis terkait dengan hakekat pewarisan terhadap laki-laki yang berstatus mulih teruna di Bali. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakekat pewarisan laki-laki pada perkawinan nyeburin setelah perceraian bahwa dalam konteks pewarisan tidak hanya didasarkan pada pertalian darah, tetapi juga pada pemenuhan kewajiban adat dan agama (swadharma), sesuai dengan asas keseimbangan. Setelah perceraian dalam perkawinan nyeburin, laki-laki yang kembali ke keluarga asal (berstatus mulih truna) berhak atas sebagian warisan orang tuanya. Namun dengan diaturnya hak mewaris dalam Keputusan MDA 04/2023, ketentuan ini memunculkan potensi konflik dan ketidakpastian hukum, terutama jika ada ahli waris lain yang tetap menjalankan kewajiban adat secara penuh. Selanjutnya berdasarkan hal tersebut kemudian asas kepastian hukum dan keseimbangan harus menjadi landasan utama dalam penyusunan dan pelaksanaan aturan pewarisan adat agar adil dan menghindari konflik, kemudian konsep pemisahan pemaknaan antara hak yang bersifat kolektif sebagai hak moral dengan hak individual atas harta yang bersifat kebendaan sehingga dapat dirumuskan terhadapnya tidak berhak atas hak waris atas harta warisan, namun tetap terbuka perolehan hak dengan memperhatikan asas parimirma yaitu asas welas asih proses peralihan warisan dapat dilakukan secara konsensus berdasarkan musyawarah dengan keluarga asal.